Sabtu, 06 Agustus 2011

Belanda Tak Seindah yang Dibayangkan

Thank you for using rssforward.com! This service has been made possible by all our customers. In order to provide a sustainable, best of the breed RSS to Email experience, we've chosen to keep this as a paid subscription service. If you are satisfied with your free trial, please sign-up today. Subscriptions without a plan would soon be removed. Thank you!
(News Today) - "BERAT badan saya turun beberapa kilo, ketika saya menjadi petugas pembersih kamar sebuah hotel di Amsterdam. Saya waktu itu sempat frustasi karena tidak mendapat pekerjaan yang sesuai dengan keahlian saya. Terutama juga karena saya mendapat perlakuan tak manusiawi," tutur Andhira (bukan nama sebenarnya) kepada Radio Nederland.

Andhira, lulusan salah satu universitas di Indonesia, tinggal di Amsterdam karena menikah dengan pria Belanda. Ia tidak menyangka akan mendapat pekerjaan seperti itu. Andhira membayangkan Belanda adalah "surga" dan gampang mendapat pekerjaan sesuai keahliannya sebagai sarjana bahasa Inggris.

Menurut laporan wartawan Radio Nederland, Pritha Riadhini, Selasa (2/8/2011), Andhira tidak sendirian, banyak sarjana (terutama perempuan) asal Indonesia yang kecewa karena tidak memperoleh pekerjaan sesuai bidangnya. Untuk mencari pekerjaan yang sesuai kadang terbentur masalah diskriminasi dan bahasa.

Masalah itulah yang kadang menyebabkan seseorang menjadi frustasi. Demikian tandas Dian Padma, sosiolog yang meneliti depresi di kalangan kaum migran atas perintah Salland Verzekering (Perusahaan Asuransi Salland).

Penelitiannya menyangkut kaum migran keturunan Turki. Kendati demikian ia juga melirik apa akibat diskriminasi ini terhadap migran yang berasal dari Indonesia.

"Memang kami pernah membaca tentang negara tujuan, tapi tetap saja ketika sampai di sini tidak sesuai dengan gambaran yang kami bangun dari negara asal. Jadi kami mulai belajar dari awal. Tentang semua hal. Mulai dari iklim, makanan dan terutama bahasa," tutur Dian Padma.

Faktor bahasa inilah, tambahnya yang menjadi faktor utama dan persoalan yang besar di antara kaum migran. Nah faktor bahasa ini yang menjadi kunci di segala macam bidang. Kalau tidak menguasai bahasa yang baru, maka tidak bisa mengikuti pendidikan dan juga tidak bisa bekerja.

"Di sisi lain para pemberi kerja di negara baru juga melihat. Misalnya kalau saya memiliki dua kandidat, satu orang Indonesia dan satu orang Belanda. Mungkin secara pendidikan, orang Indonesia harus menyesuaikan dengan tingkat pendidikan yang diharapkan oleh orang Belanda."

Mereka lebih menentukan pilihan kandidat orang Belanda sendiri daripada calon pegawai orang asing karena masalah bahasa. "Nah itu awal dari diskriminasi".

Prasangka

Selain itu diskriminasi, tuturnya juga berasal dari prasangka. Bahwa orang asing itu tidak memiliki ketrampilan pengetahuan sesuai dengan tingkat pengetahuan orang Belanda sendiri. Itulah gambaran yang dimiliki oleh orang Belanda.

"Ketika saya misalnya melihat ada vacature (lowongan) pekerjaan, dan kemudian saya melamar dengan nama asing saya. Pemberi pekerja juga akan melihat nama saya. Oh ini orang asing kemudian mereka sudah memiliki gambaran tertentu tentang orang asing."

Sama saja dengan di Indonesia. Kalau orang asing atau orang berkulit putih masuk ke Indonesia, maka orang Indonesia sudah memiliki gambaran, bahwa orang asing itu lebih pintar dibanding orang Indonesia sendiri. Sehingga mereka lebih mudah diterima di Indonesia.

Kelompok migran Indonesia lebih memiliki fleksibilitas dari sisi psikologis. Dan banyak di antara migran Indonesia yang memiliki pendidikan tinggi ternyata tidak dihargai sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka. "Misalnya ada dokter gigi dari Indonesia yang bekerja di pabrik. Atau sarjana lain yang bekerja di tempat yang tidak membutuhkan tingkat pendidikan sama sekali. Itu kan juga membuat orang Indonesia frustasi. Secara psikologis mereka tidak puas dengan kehidupan di sini dan menyebabkan relasi mereka dengan suami, anak dan masyarakat Belanda sendiri menjadi negatif," tutur Dian mantan dosen di Universitas Gadjah Mada tersebut.

Ada yang kemudian memang menerima. Tapi kalau lebih jauh diteliti maka mereka juga frustasi menghadapi blokade untuk bisa mendapat pekerjaan yang sesuai dengan tingkat pendidikan mereka. Dan jumlahnya sangat banyak sekali.

Intinya perempuan Indonesia tidak selalu bisa menerapkan ketrampilan dan pendidikan mereka di Belanda. Namun dibanding migran perempuan Turki yang diteliti Dian, maka migran Indonesia memiliki paling tidak ijazah SMA yang lebih tinggi dari orang Turki. Untuk soal adaptasi orang Indonesia bisa lebih melakukan itu dibanding migran Turki.

Perempuan migran Indonesia lebih mudah diterima dibanding migran Turki. Karena ada pernikahan dengan orang asli Belanda sehingga ada interaksi yang lebih tinggi dengan masyarakat sekitar.

Untungya Andhira kini sudah mendapat pekerjaan lain yang sesuai dengan keahlian dan pendidikannya. Berat badannya tak perlu turun lagi karena frustasi memikirkan nasibnya. Andhira merupakan salah satu yang beruntung. Namun bagaimana migran lainnya yang tak seberuntung Andhira?

Source : kompas

noreply@blogger.com (News Today) 07 Aug, 2011


--
Source: http://www.newsterupdate.com/2011/08/belanda-tak-seindah-yang-dibayangkan.html
~
Manage subscription | Powered by rssforward.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar